Reshuffle: Senyap, Bisik, dan Retaknya Dua Matahari

Ady Amar, Kolumnis

Kerusuhan akhir Agustus 2025 adalah panggung gelap tempat negara diuji oleh api dan amarah. Sosok yang seharusnya berdiri di garis depan—Menko Polkam Budi Gunawan—justru menghilang, sementara Sjafrie Sjamsoeddin, Menteri Pertahanan, maju menggantikan seakan prajurit tua yang kembali merebut panggung. Absensi itu menjadi senyap yang lebih berisik dari pidato manapun, memunculkan bisik-bisik publik tentang perannya di balik kerusuhan.

Baca juga: Polisi Didesak Gali Aktor Intelektual Aksi 25–31 Agustus

Dalam politik, ketidakhadiran sering lebih keras daripada kehadiran. Nama Budi Gunawan nyaris tak terdengar, seolah terhapus dari peta kendali pada saat negara diguncang. Publik menduga-duga, apakah ia sengaja dipinggirkan atau diam-diam bagian dari orkestrasi kerusuhan. Tak ada bukti, tetapi politik Indonesia tak bergantung pada bukti; ia tumbuh dari tafsir dan gosip yang terus diulang hingga menyerupai kebenaran.

Geng Solo

Awal September, Prabowo mengayunkan kapak reshuffle yang segera dibaca sebagai babak baru. Nama-nama yang tergeser bukan kecil: Budi Gunawan, Budi Arie Setiadi, Sri Mulyani Indrawati, Dito Ariotedjo, hingga Abdul Kadir Karding. Mereka, yang kerap disebut sebagai Geng Solo, dipangkas dari kabinet seperti ranting kering yang tak lagi memberi naungan. Publik segera menangkap arah: sisa pengaruh Jokowi perlahan surut dari lingkar kekuasaan.

Setiap nama memiliki bobot politik sendiri. Budi Arie dikenal sebagai motor Projo, organ paling setia menjaga Jokowi. Sri Mulyani adalah simbol teknokrat yang selama satu dekade terakhir menjaga wajah keuangan negeri. Dito Ariotedjo dipromosikan sebagai representasi generasi muda, tapi adanya di luar ekpektasi. Sementara Karding hanyalah pion kecil yang ikut terhempas dalam gelombang besar.

Perubahan ini menandai sebuah transisi yang tak bisa dibendung. Jokowi, yang selama sepuluh tahun menjadi pusat orbit, kini harus rela melihat orang-orang dekatnya disisihkan dari panggung utama. Kekuasaan, sebagaimana air, selalu mencari salurannya sendiri, dan kali ini mengalir ke wadah baru. Reshuffle bukan hanya koreksi kabinet, melainkan juga koreksi sejarah.

READ  Tata Kelola Pendidikan Tinggi Dalam Isu-isu Kebangsaan

Baca juga :Serakahonomic: Rakyat Menunggu Realisasi Pidato Prabowo

Dua Matahari

Politik Indonesia pasca lengsernya Jokowi, hidup dalam bayang-bayang dua matahari. Dua kutub yang dipaksa berjalan dalam satu langit. Namun langit politik tak pernah bisa lama menampung dua pusat gravitasi. Reshuffle ini menjadi tanda jelas, bahwa salah satu matahari mulai meredup, memberi ruang bagi cahaya tunggal meski belum tentu stabil.

Kekuasaan memang panggung penuh paradoks. Prabowo bisa saja terlihat berkuasa, tetapi ia tengah dikepung tekanan ekonomi global, keresahan sosial, dan oposisi yang mencari celah. Ia berdiri di atas pasir yang mudah bergeser, membutuhkan legitimasi yang lebih dari sekadar kursi istana. Rakyat menanti apakah ia mampu membuktikan diri, atau hanya menjadi penonton dari drama yang ia sutradarai sendiri.

Sedang cahaya Prabowo belum tentu abadi. Kepemimpinannya bahkan belum genap setahun, masih goyah di antara krisis, protes, dan ekspektasi publik. Ia bukan masa depan, ia baru sekadar masa kini yang sedang diuji, belum terbukti menghadapi badai ekonomi maupun kegelisahan sosial yang terus bergemuruh.

Absennya Budi Gunawan dan terseoknya Geng Solo hanyalah bab awal dari puisi gelap kekuasaan, yang ditulis dengan api dan bayangan. Sementara rakyat menunggu: apakah cahaya itu akan menjadi fajar yang memberi arah, atau sekadar kilat yang datangnya terburu, dan karenanya cepat padam.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *