Retorika Kampanye yang Kosong, Rakyat Harus Tetap Kritis!

Di tengah euforia Hari Kemerdekaan ke-80, pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada 16 Agustus kemarin yang memperkenalkan istilah “serakahonomic” sebagai kritik terhadap keserakahan ekonomi, justru menuai skeptisisme tajam dari kalangan akademisi. Suparman Marzuki, ahli hukum dan pegiat HAM dari Universitas Islam Indonesia (UII), menyebut pernyataan itu sebagai “janji kampanye” yang jauh dari realitas tindakan pemerintahan. “Pernyataan-pernyataan pemerintah dalam 11 tahun ini nggak perlu ditanggapi serius, apalagi mengharapkan terwujud karena antara statemen dengan tindakan jauh panggang dari api, bahkan bertolak belakang,” tegas Suparman dalam wawancara eksklusif dengan jogjanetwork.id.

Suparman mengkritisi bagaimana pidato Prabowo—yang memamerkan pertumbuhan ekonomi 5,12 persen dan hilirisasi industri sebagai keberhasilan—sebenarnya mencerminkan kegagalan membedakan antara retorika pemilu dan tanggung jawab eksekutif. “Kalau belajar dari statement-statement besar Prabowo sejak mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden, calon presiden berkali-kali, hingga kampanye-kampanyenya bahkan saat jadi presiden, itu seperti statement kampanye, bukan statement seorang presiden yang punya kuasa untuk melakukan langkah konkret mewujudkan janji kampanyenya,” ujarnya. Ia mencontohkan janji antikorupsi Prabowo yang bombastis—”mau mengejar pelaku sampai Antartika”—tapi dalam praktik, korupsi di sektor pertambangan dan investasi asing malah merajalela, dengan kerugian negara mencapai Rp300 triliun dari tambang ilegal pada 2025 saja.

Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus tentang Tanggapan atas Pidato Tahunan Presiden Prabowo pada Sidang Tahunan MPR. Redaksi menyebutnya dengan menggunakan istilah yang dipakai presiden: Serakahonomic.

Bukan Janji Kampanye

Lebih lanjut, Suparman mengkritik “serakahonomic” sebagai istilah ambigu yang tak jelas posisinya: apakah sebagai kritik presiden atau sekadar gimmick kampanye. “Nah, apalagi ini terkait dengan keserakahan dan lain-lain yang dia maksud itu, saya tidak tahu apakah dia bicara sebagai seorang presiden atau sedang kampanye,” sindirnya.

READ  Kepastian Hukum Untuk Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015 itu, Pemerintahan Prabowo, yang telah berkuasa sejak Oktober 2024, tampaknya belum sadar akan posisinya. “Tampaknya dia dan orang-orangnya seperti belum sadar bahwa mereka sudah berkuasa di Republik ini, jadi bukan sedang berkompetisi dengan calon-calon yang lain.” Ini, menurut Suparman, menciptakan disonansi politik di mana janji reformasi ekonomi bertabrakan dengan regulasi seperti UU Cipta Kerja dan revisi UU Minerba, yang justru memfasilitasi dominasi asing di sektor tambang—dengan investasi asing mencapai Rp826,3 triliun pada 2023, tapi UMKM hanya mendapat 30 persen dukungan kredit.

Secara analitis, Suparman melihat ini sebagai pola kronis oligarki politik di Indonesia, di mana elite menggunakan narasi nasionalis untuk menutupi ketergantungan pada korporasi global. “Sebagai rakyat, kita harus terus kritis, melanjutkan kritik untuk berkontribusi pada negeri,” pesannya.

Pidato Prabowo, yang disiarkan secara nasional, memang memicu perdebatan luas. Namun, kritik Suparman ini mengingatkan bahwa politik Indonesia butuh lebih dari kata-kata: aksi konkret melawan ketimpangan, atau rakyat akan terus menjadi korban retorika hampa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *