jogjanetwork.id 7 Agustus 2005
Kalau kamu termasuk yang ikut nyanyi pelan-pelan, merem, dan tiba-tiba merinding setiap kali lagu Tanah Airku diputar seusai timnas Indonesia bertanding, selamat—kamu sedang menikmati rasa cinta tanah air… yang berpotensi berbayar.
Baca juga: Pemblokiran Rekening oleh PPATK, Perlu Ada Class Action
Lagu legendaris itu, karya Ibu Sud—alias Saridjah Niung—sudah jadi semacam anthem tak resmi setiap kali Tim Garuda menang atau kalah dengan bermartabat. Tapi belakangan ini, bisa muncul pertanyaan guyon: “PSSI bayar royalti gak, tuh?”
Iya, serius. Setelah Mahkamah Konstitusi menyidangkan uji materi soal UU Hak Cipta, dan hakim Arief Hidayat nyeletuk: “Kalau ini diterapkan terus, WR Supratman bisa jadi orang terkaya di Indonesia,” kita semua jadi sadar: bahkan lagu nasional bisa jadi komoditas kalau tafsir pasalnya sedang lapar. Pernyataan Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membandingkan lagu-lagu yang saat ini sedang dipersoalkan dengan lagu karya WR Supratman, “Indonesia Raya” yang selalu dinyanyikan tiap hari Senin di sekolah hingga kantor pemerintah. Apalagi di bulan Agustus, tiap kampung menyanyikan lagu “Indonesia Raya.”
Makanya jangan kaget, kalau suatu hari nanti kamu duduk di stadion, Timnas menang dramatis, lalu panitia bisik-bisik:
“Bro, kita nyanyiin ‘Tanah Airku’ atau enggak nih? Royaltinya udah dibayar belum nih?”
Nasionalisme: Gratis di Hati, Mahal di Sound System
Di negeri ini, mencintai Indonesia tidak lagi cukup dengan air mata dan peluh. Kadang juga butuh invoice.
Lihat saja, kafe-kafe di Jogja yang dulu semarak dengan alunan Efek Rumah Kaca atau Payung Teduh, sekarang lebih milih sunyi. Bukan karena tren minimalis akustik, tapi karena takut dipanggil kolektor royalti. Bahkan memutar suara burung, kalau itu hasil rekaman, wajib bayar. Serius. Di titik ini, jangankan suara hati, suara jangkrik pun bisa masuk hitungan lisensi.
Ini semua karena pemahaman baru tentang hak cipta: bukan soal siapa yang bikin, tapi siapa yang ngitung. Dan yang ngitung, biasanya bawa map, bukan gitar.
Baca juga: Negara Dijual Paket Lengkap, Termasuk Privasi Rakyat
Seniman Hidup dari Karya, Tapi Siapa yang Bikin Terkenal?
Kita gak bisa tutup mata: pencipta lagu layak dihargai. Mereka berkorban waktu, pikiran, bahkan kadang cinta. Dan ketika karya mereka lahir, sudah sewajarnya ada timbal balik: penghargaan, pengakuan, dan tentu saja… penghasilan.
Tapi, setelah karya itu dibeli secara legal, misalnya lewat CD, Spotify, iTunes, apakah sudah cukup? Ternyata itu belum cukup. Pembelian lagu itu hanya boleh didengarkan secara pribadi. Kalau kamu putar di radio, cafe, restoran, konser, film pendek, TikTok, reels, instastory, atau bahkan dinyanyikan ulang di kamar mandi tetangga—siap-siap urusan panjang.
Pertanyaannya: kalau semua orang hanya boleh mendengarkan secara pribadi, bagaimana lagu bisa populer? Bagaimana orang bisa tahu lagu itu ada?
Radio, cafe, sosial media, bahkan karaoke, sebenarnya ikut mengangkat lagu ke permukaan publik. Mereka jadi saluran distribusi rasa, bukan sekadar pemutar musik. Tapi dalam logika kapitalisme versi undang-undang, mereka dianggap penikmat yang harus bayar, bukan penyebar yang layak diberi terima kasih.
Bayar atau Dibayar?
Akhirnya kita sampai di titik absurd ini: apakah upaya mempopulerkan karya seni itu harus bayar atau justru dibayar?
Misalnya radio yang muter lagu kamu dan bikin orang jatuh cinta. Haruskah dia bayar ke kamu? Atau justru kamu yang kasih mereka bonus karena udah bikin lagumu dikenal?
Ini seperti kasus warung pecel lele yang bikin sambal enak. Orang-orang datang, makan, cerita ke temennya, promosiin di IG Story, lalu sambalnya jadi viral. Terus, pertanyaannya: apakah pembeli harus bayar royalti ke tukang sambal, atau tukang sambal yang ngasih cashback karena dipromosiin gratis?
Kalau Nasionalisme Jadi Barang Dagangan
Dan di tengah semua absurditas itu, PSSI masih berdiri gagah. Tetap menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Tanah Airku setiap usai pertandingan. Tapi kita belum tahu, apakah mereka juga menyisihkan anggaran untuk royalti?
Atau jangan-jangan nanti kita semua disuruh patungan, bikin gotong royong royalty fund, agar kita bisa tetap nyanyi bersama tanpa takut disomasi.
Karena hari ini, di negeri ini, cinta tanah air tetap gratis… asal gak pake speaker.