Saat Dakwah Kehilangan Adab, Pendidikan Jadi Solusi

Misri Gozan

Banyak orang membayangkan dakwah sebatas ceramah di panggung, khutbah Jumat, pengajian rutin, atau bahkan tampil di medsos. Itu juga dakwah. Padahal, hakikat dakwah jauh lebih luas: ia adalah pendidikan. Dakwah bukan hanya alat untuk menyampaikan ilmu, melainkan proses panjang yang mengubah cara berpikir, membentuk karakter, dan menumbuhkan kepedulian sosial.

Baca juga: Dari Kata Menjadi Petaka: Ketika Pejabat Tak Jaga Mulut

Jika dakwah hanya menyampaikan tanpa membentuk, tentu Tuhan tidak perlu mempersiapkan Mekkah 13 tahun lamanya. Rasulullah tidak perlu menolak tawaran pamannya untuk masa bergantian dakwah. Lalu perjuangan hijrah dan lanjut 10 tahun di kota Madinah yang harus menata perbedaan antar suku. Apalagi sampai ada peperangan, berkali-kali.

Imam Al-Ghazali pernah menegaskan: “Ilmu tanpa adab adalah kesesatan; adab tanpa ilmu adalah kekurangan. Keduanya harus saling melengkapi.” Pesan ini terasa relevan hingga kini. Pendidikan dalam dakwah berarti bukan sekadar “mengajar”, melainkan membentuk manusia yang bisa mengajak kepada kebenaran dengan penuh kebijaksanaan.

Kalau hanya sekadar tahu, mesin pencari di internet hingga kecerdasan buatan bisa menjawab lebih cepat dari siapa pun. Tapi, apakah mesin bisa membimbing hati, melatih kesabaran, atau menumbuhkan cinta kasih? Inilah bedanya dakwah yang sekadar mengajar dengan dakwah yang mendidik.

Pendidikan Tidak Cukup Hanya Intelektual

Saat ini intelektualitas bangsa sedang dipertanyakan. Nilai tes PISA (Program for International Student Assessment) kita masih jeblok terus, bahkan dibanding negara kecil sekitar kita. Nilai PISA ini bisa kita anggap sebagai cerminan potensi intelektual bangsa. Itupun rendah potensinya.

Baca juga: Prabowo Undang Al Irsyad Al Islamiyyah Ke Hambalang

Tetapi, anehnya, intelektual selalu dipuja-puja. Kita sering melihat ukuran keberhasilan pendidikan hanya dari aspek intelektual: nilai rapor, gelar akademik, atau publikasi. Namun, pengalaman umat menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual saja tidak cukup. Banyak bangsa cerdas tapi hanya saling bertikai atau menjadi penjajah, menghisap darah dan merusak negeri lain.

Oleh karenanya, Pendidikan Islam mestinya menyentuh tiga dimensi:

  1. Asah (Intelektual): mempertajam akal, memperluas pengetahuan, melatih logika.
  2. Asih (Emosional): menumbuhkan kasih sayang, empati, dan kepedulian.
  3. Asuh (Etika–Aksi): membiasakan akhlak, membimbing tindakan nyata.

Begitu salah satunya hilang, hasilnya bisa berbahaya. Kita bisa mendapati juru dakwah yang pintar bicara tapi minim adab, lantang bersuara tapi gagal menyatukan umat. Media sosial penuh dengan contohnya: perdebatan panjang, saling sindir, bahkan hinaan yang berbalut dalil. Padahal masalahnya bukan pada ilmunya, melainkan pada hilangnya keseimbangan adab dan empati.

READ  OTT PEJABAT NEGARA, MOMENTUM MENATA NEGARA LEBIH BAIK

Maka, urgensi pendidikan dalam dakwah adalah menghidupkan kembali keseimbangan tiga dimensi tadi. Ilmu yang tidak mengasuh akan kering. Dakwah yang tidak menyentuh hati akan dingin.

Fiqih Prioritas dan Fiqih Dakwah

Dalam dakwah, yang penting bukan hanya apa yang disampaikan, tapi juga kapan dan bagaimana menyampaikannya. Inilah yang disebut fiqh al-awlawiyyat, fiqih prioritas. Inilah fiqih yang sudah mempertimbangkan mana yang lebih utama disampaikan, diupayakan terwujud.

Sederhananya, tidak semua yang benar harus disampaikan saat itu juga, tetapi semua yang disampaikan harus tepat waktunya. Mari kita ambil contoh:

  • Mendamaikan orang yang berselisih lebih utama daripada mempertegas siapa yang benar.
  • Mengokohkan iman dan akhlak dasar lebih penting daripada memaksakan detail cabang hukum.
  • Menumbuhkan cinta kepada Allah dan Rasul lebih urgen daripada sibuk menegur cara berpakaian.

Rasulullah SAW adalah teladan fiqih prioritas. Larangan khamr tidak turun sekaligus, namun datang bertahap. Proses pelarangan ini menunggu iman tertanam kuat. Mengapa? Karena iman lebih penting daripada larangan pada kondisi tersebut.

Dalam peristiwa lain, seorang Yahudi memberi salam dengan cara menghina. Para sahabat radliyallahu anhum tentu marah. Namun, Rasulullah SAW menjawab dengan santun. Beliau sedang mendidik bahwa adab dan ketenangan hati lebih utama daripada melampiaskan emosi. Kita tahu bahwa kita mestinya marah ketika Rasulullah SAW dihina. Namun, prioritas saat itu tidak untuk mengedepankan kekuatan, melainkan mendidik sahabat dengan kesantunan dakwahnya.

Bahkan dalam dakwah ada adagio “Alwaqtu minal ilaj“, yang artinya: “Waktu adalah obat”, yang bisa kita maknai: di tahap awal berikanlah “penyelamatan kondisi,” contoh dengan tauladan lebih dahulu, walau terlihat tanpa heroisme. Lalu, biarkan waktu berjalan dan objek dakwah akan membangun argumentasi intelektualnya maupun nuraninya secara organik bila diberikan cukup waktu.

Kisah para sahabat yang akhirnya mau menuruti perintah memotong kuku setelah sekian waktu Rasulullah yang mulia memberi contoh, adalah sangat menginspirasi. Demikian juga dengan isi Perjanjian Hudaibiyah yang sangat tidak masuk akal pada awalnya. Sekelas Umar bin Khatab sempat muram karena merasa Rasulullah seolah “menghinakan Islam”. Namun, semua indah dan terbuka hikmah pada akhirnya. Begitulah akhlak Rasulullah, tidak mencela sahabat tercinta yang bahkan sampai tega mempertanyakan kenabiannya.

Fiqih prioritas inilah yang sering hilang dalam dakwah modern. Kita sibuk memperdebatkan hal-hal cabang, tapi lupa bahwa iman, akhlak, dan ukhuwah adalah pondasi utama. Dan kita tahu bahwa masih banyak sudut gelap gulita di ranah ini pada masyarakat yang kita hadapi. Kegelapan iman dan akhlak itulah yang menjelaskan mengapa banyak perilaku menyimpang semakin sering terjadi.

READ  Militerisme: Ancaman di Balik Bayang Sistem Merit

Di sisi lain, kebenaran tidak selalu diterima hanya karena ia benar. Kita tidak mungkin mengharapkan terjadi perubahan sakdeg, saknyek (inqilabiyyah) saat suatu ilmu atau peringatan diberikan. Ia bisa tertolak jika cara menyampaikannya salah, bahkan dimusuhi. Karena itu, fiqih dakwah menekankan metode: bagaimana mengajarkan, dengan siapa bicara, kapan waktunya, dan apa konteksnya.

Ada empat tahapan penting dalam dakwah:

  1. Ta’rif (Pengenalan): memperkenalkan nilai kebaikan dengan cara ramah.
  2. Tanfir (Peringatan): menjelaskan bahaya keburukan tanpa menakut-nakuti berlebihan.
  3. Tarbiyah (Pembinaan): pendidikan yang berulang, bukan hanya sesaat.
  4. Tazkiyah (Penyucian): proses mendalam untuk membentuk akhlak mulia.

Kesalahan besar di era digital adalah melompat langsung ke tahap keempat, memberi vonis dan larangan, tanpa melalui tiga tahap awal. Akibatnya, orang merasa diserang, bukan dididik.

Rasulullah SAW selalu memberi jawaban yang kontekstual. Sahabat dengan pertanyaan yang sama bisa mendapat jawaban berbeda, sesuai kebutuhan mereka. Beliau juga menerima musyawarah, bahkan ketika pendapat beliau dikalahkan, seperti dalam perang Badr. Itu semua menunjukkan: dakwah adalah pendidikan yang fleksibel, bukan instruksi satu arah.

Para imam mazhab juga menegaskan pentingnya adab. Imam Syafi’i berkata, “Pendapatku benar tapi bisa jadi salah; pendapat orang lain salah tapi bisa jadi benar.” Imam Ahmad bin Hanbal bahkan tetap mendoakan lawan debatnya dengan penuh hormat. Dakwah mereka tidak berhenti di argumen, tetapi mendidik hati untuk rendah hati.

Adab Ilmiah, Tanpa Membakar

Al-Qur’an sudah memberi panduan jelas: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik.” (QS An-Nahl:125).

Hikmah dan kelembutan adalah syarat mutlak dakwah. Kata-kata yang benar bisa kehilangan makna jika disampaikan dengan amarah. Para ulama salaf menekankan pentingnya adab dalam menyampaikan kebenaran. Mereka mengingatkan bahwa ucapan yang benar sekalipun, jika dibungkus amarah, akan lebih terasa sebagai serangan ketimbang pengajaran. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. An-Nahl:125 tentang seruan dengan hikmah dan mau’izhah hasanah.

Di masyarakat Indonesia kita bisa melihat seorang yang sangat logis sekalipun, apabila menyampaikan logikanya dengan nada kasar dan memojokkan, maka ia bisa sangat tidak disukai. Kita sedang menawarkan dakwah, kebenaran, kita sangat ingin mad’u (objek dakwah) menerimanya, maka kita harus berusaha keras mengekang ego dan amarah, demi masukknya logika Iman dan Islam ke dalam hati mereka.

READ  Sesat Tafsir Penguasaan Negara Atas Tanah

Namun, algoritma media sosial hari ini justru membalik logika dakwah ini. Konten keras, kasar, dan penuh sarkasme lebih cepat viral, disukai, walaupun bukan dicintai, dan menghasilkan cuan, pundi-pundi. Akibatnya, banyak orang tergoda memilih gaya bicara yang sensasional ketimbang mendidik. Padahal, cepat tersebar bukan berarti benar-benar bermanfaat, apalagi jauh dari kebenaran.

Mari kita kembali ke tujuan dasar: dakwah adalah merawat ukhuwah. Al-Qur’an menegaskan bahwa orang beriman adalah saudara, dan tugas kita adalah mendamaikan, bukan memecah.

Sayangnya, energi umat sering habis di perdebatan tak berujung. Padahal, ada begitu banyak masalah nyata yang menanti solusi: pendidikan anak-anak, rumah tangga yang rapuh, kemiskinan yang masih menggurita, hingga pesantren yang butuh dukungan agar tak tertinggal di era digital. Dakwah yang benar mestinya membuat umat lebih peduli pada masalah bersama, bukan lebih sibuk berdebat di ruang maya.

Dakwah sejatinya adalah pendidikan akhlak. Bukan sekadar menyuarakan kebenaran, tetapi membangun rasa damai atas kebenaran itu. Dakwah yang baik melahirkan cinta, bukan ketakutan; menguatkan ukhuwah, bukan memecah-belah.

Bayangkan bila setiap da’i memosisikan dirinya sebagai pendidik. Ia akan sabar, rela mengulang penjelasan, dan menempatkan diri sebagai pengasuh umat, bukan penghakim. Itulah wajah dakwah yang menghidupkan.

Da’i yang Mendidik, Bukan Menghakimi

Masalah utama umat hari ini bukan kekurangan ilmu, melainkan terlalu banyak perdebatan di ruang publik yang tak berujung. Umat bingung melihat juru dakwah saling menyerang, padahal keduanya sama-sama membawa dalil.

Karena itu, mari kita tegaskan kembali prinsipnya:

  • Dakwah yang mendidik adalah yang menyatukan, bukan memecah.
  • Dakwah yang membimbing adalah yang mengasuh, bukan menghakimi.
  • Dakwah yang berbuah ukhuwah adalah yang disampaikan dengan cinta, bukan dengan kemarahan.

Pada akhirnya, dakwah adalah jalan pendidikan yang panjang. Ia membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan kasih sayang. Seperti menanam benih, ia tidak langsung berbuah, tapi akan tumbuh perlahan dengan perawatan yang baik.

Maka, urgensi pendidikan dalam dakwah bukan hanya pada isi pesan, tetapi juga pada metode, prioritas, dan adab. Dakwah yang sejati adalah dakwah yang menghidupkan hati, menumbuhkan ukhuwah, dan membentuk karakter umat.

Mari kita menjadi da’i yang mendidik, bukan sekadar penceramah. Menjadi pendidik umat, bukan penguasa perdebatan. Sebab hanya dengan cara itulah dakwah benar-benar menjadi cahaya, bukan bara.

Wallahu a’lam

Misri Gozan adalah Guru Besar Fakultas Teknik Kimia UI, juga Wakil Ketua Umum PP Al Irsyad Al Islamiyyah

Satu tanggapan untuk “Saat Dakwah Kehilangan Adab, Pendidikan Jadi Solusi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *