Sugito: Kebenaran Akan Menemukan Jalannya Sendiri

Jogjanetwork.id 1 Agustus2025

Ketika keadilan terasa digempur oleh arus kepentingan dan logika hukum tak lagi mampu menemukan cahaya kebenaran, masih ada satu kalimat yang menguatkan: “Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.” Itulah yang disampaikan Sugito Atmo Prawiro, pengacara Thomas Lembong, mengomentari keputusan Presiden Prabowo yang memberikan abolisi terhadap mantan menteri perdagangan tersebut.

Baca juga:Abolisi Tom Lembong: Kemenangan Akal Sehat

Sugito menilai bahwa sejak awal, vonis terhadap Tom Lembong tampak dipaksakan. “Tidak ada mens rea (niat jahat), tidak ada bukti memperkaya diri sendiri atau orang lain,” ujar Sugito. Ia menyayangkan, sidang yang seharusnya menggali fakta hukum, tapi justru hakim menyelipkan tafsir ideologis tentang sistem ekonomi kapitalis seolah itu menjadi pertimbangan hukum.

Tom Lembong, Tak Terima uang, tapi dipenjara
Tom Lembong bersama isteri menjalani persidangan kasus dugaan korupsi impor gula

Padahal, hukum pidana tidak boleh dipakai untuk mengadili pandangan ekonomi seseorang. Dalam negara demokrasi, perbedaan pendekatan ekonomi seharusnya menjadi bagian dari dinamika politik dan kebijakan publik—bukan alasan pemidanaan.

Baca juga: Vonis Lembong: Mens Rea, Tafsir Hukum, dan Ekonomi Pancasila

Meski begitu, di tengah gelombang ketidakadilan yang dirasakannya, Sugito menyampaikan apresiasi kepada Presiden Prabowo dan DPR yang menyetujui langkah abolisi ini. “Kami berterimakasih kepada Presiden Prabowo dan para anggota dewan. Ini bukan sekadar keputusan politik, tapi keputusan nurani. Tanda bahwa di negeri ini, suara keadilan masih punya tempat,” ucapnya dengan mata berkaca.

Prabowo dan Kepekaan Nurani Pemimpin

Dalam pandangan Sugito, keputusan Presiden Prabowo bukan keputusan yang reaktif. Ini adalah buah dari kepekaan terhadap realitas, terhadap jeritan hati rakyat dan logika keadilan yang seringkali dikalahkan oleh prosedur.

Kasus Tom hanyalah satu dari sekian banyak momen yang menunjukkan bahwa Prabowo bukan sekadar pemimpin yang berkuasa—melainkan pemimpin yang mendengar. Beberapa contoh berikut menjadi bukti nyata:

READ  Prabowo Redam Gejolak dengan Amnesti dan Abolisi

1. Membatalkan Larangan Penjualan Eceran LPG 3 Kg

Tatkala Menteri ESDM Bahlil mengeluarkan larangan penjualan eceran LPG 3 kg, rakyat kecil langsung menjerit. Kelangkaan terjadi. Emak-emak di kampung, para buruh harian, penjual gorengan, semua terdampak. Namun Prabowo tak membiarkan mereka berteriak sendiri. Dalam hitungan hari, ia membatalkan kebijakan itu. Kepekaan seperti ini, yang lahir dari nurani, adalah kualitas yang jarang ditemukan pada penguasa.

2. Mengembalikan Empat Pulau ke Aceh

Ketika sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara memanas, Presiden turun langsung. Tidak hanya menengahi, tapi memutuskan berdasarkan keadilan historis. Ia mengembalikan keempat pulau itu ke Aceh, berdasar dokumen-dokumen tua yang masih menyimpan nyawa sejarah. Bukan demi suara pemilu, tapi demi meredam konflik dan menjaga keutuhan hati bangsa.

3. Membatalkan Pemblokiran 28 Juta Rekening oleh PPATK

Bayangkan, 28 juta rekening diblokir begitu saja. Banyak dari mereka adalah rekening keluarga kecil, tabungan janda, dana pendidikan anak-anak. Publik resah. Namun Prabowo kembali menunjukkan bahwa ia mendengarkan. Ia hadir sebagai penyejuk, membatalkan pemblokiran tersebut. Sebuah keputusan yang tidak populer di mata birokrasi, tapi sangat berarti bagi rakyat.

Nurani Masih Ada di Istana

Tom Lembong bukan hanya soal satu orang yang mendapat abolisi. Ia menjadi cermin bahwa kebenaran bisa terselip, tapi tidak akan sirna. Bahwa negara ini—di balik segala gaduhnya—masih punya ruang bagi keadilan. Masih ada pemimpin yang punya telinga untuk mendengar, dan hati untuk merasa.

“Kita semua menanti keadilan, seperti malam menanti fajar. Tapi saya percaya, kebenaran akan menemukan jalannya sendiri,” tutup Sugito dengan suara lirih, tapi penuh keyakinan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *