
Pakar hukum dan Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015, Suparman Marzuki memberikan respons positif terhadap agenda reformasi Polri yang didorong oleh Presiden Prabowo. Suparman , menyebutnya sebagai langkah yang patut diacungi jempol. Namun, ia menekankan bahwa agenda reformasi Polri sebenarnya merupakan bagian implisit dari agenda reformasi nasional yang lebih luas, khususnya sejak pemisahan Polri dari TNI pasca-Reformasi 1998.
Baca juga: Bertemu GMB Prabowo Berjanji Akan Reformasi Polri
Sayangnya, menurut Suparman, agenda tersebut sering mandeg karena resistensi internal di tubuh Polri sendiri. “Polri enggan merubah diri karena nyaman dengan peran sebagai institusi ‘crime hunter’ yang berjarak dengan rakyat,” ujarnya, merujuk pada paradigma otoriter yang masih melekat. Suparman menjelaskan bahwa di era modern, terutama dalam negara hukum dan demokrasi seperti Indonesia, Polri harus bertransformasi menjadi institusi yang dekat dengan rakyat—institusi protagonis yang proaktif menyelesaikan masalah masyarakat, bukan hanya penegak hukum yang reaktif.
Presiden Bertemu GMB
Pada Kamis, 11 September 2025, Presiden Prabowo Subianto menyambut para tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB)—sekelompok intelektual, agamawan, dan aktivis lintas agama—dalam dialog yang berlangsung hampir tiga jam. Di ruangan yang biasanya dipenuhi protokol kaku, suasana terasa lebih hangat, meski sarat dengan tuntutan mendalam.
Di akhir pertemuan itu, Prabowo memberikan lampu hijau: ia setuju membentuk komisi reformasi kepolisian, sebuah langkah yang dinanti banyak pihak setelah gelombang protes yang menewaskan satu nyawa dan melukai ratusan lainnya.
Dalam pertemuan itu Lukman Hakim Saifuddin dan perwakilan agama lain menyampaikan aspirasi rakyat: reformasi total Polri, investigasi independen atas kekerasan aparat, dan pembebasan aktivis yang ditahan. Prabowo berjanji membentuk komisi reformasi Polri dalam waktu dekat, yang akan mengevaluasi struktur, personel, dan prosedur kepolisian. Ini momen tepat untuk reformasi setelah 10 tahun Polri ‘dianakemaskan’ era sebelumnya. Pada era Jokowi polisi aktif ditempatkan di jabatan sipil—sebuah praktik yang melanggar semangat Reformasi 1998.
Belajar Dari Negara Lain
Ia membandingkan dengan model polisi sipil di negara-negara demokratis, seperti sistem Koban di Jepang di mana polisi hadir di tengah komunitas untuk memastikan keamanan sehari-hari, atau layanan 911 di Amerika Serikat yang menekankan respons cepat dan pelayanan publik. “Jika Polri tetap kukuh dengan karakter ‘crime hunter‘, maka hubungan dengan rakyat akan selamanya seperti Tom and Jerry—berjarak dan saling curiga, sehingga sulit mendapat dukungan publik,” tambah dalam podcast bersama jogjanetwork.id.
Ia juga mengingatkan bahwa konstitusi sudah menegaskan tugas Polri untuk melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat sebagai prioritas utama, dengan penegakan hukum sebagai bagian akhir. Suparman berharap respons Prabowo bukan sekadar omong-omong kosong, melainkan aksi nyata yang bisa menjadi fondasi bagi negara hukum Indonesia.
Kembali Ke Semangat Reformasi 98
Reformasi Polri bukan hal baru. Pasca-tumbangnya Soeharto, polisi dipisah dari militer untuk menghindari dwifungsi ABRI yang otoriter. Namun, di bawah Prabowo, ada kekhawatiran sebaliknya: militer justru merayap kembali ke urusan sipil. Ia telah membentuk 100 batalion baru TNI, dengan rencana 500 lagi dalam lima tahun, dan anggaran pertahanan melonjak 37% menjadi 335 triliun rupiah pada 2026.
Kritikus seperti Yuddy Chrisnandi, mantan Menteri PAN-RB, menyebut ini sebagai kemunduran reformasi, di mana polisi kini hadir di hampir semua kementerian. Dalam aksi demonstrasi Agustus lalu suara rakyat bergema dengan tuntutan untuk mengganti pucuk pimpinan Polri Listyo Sigit Prabowo. Lainnya menuntut UU Perampasan Aset Koruptor sebagai bagian reformasi, agar polisi tak lagi jadi alat pemerasan.
Baca juga: Lembaga HAM Serukan Pembebasan Demonstran
Bagi Prabowo, ini peluang membuktikan citra barunya sebagai pemimpin yang mendengar rakyat, bukan sekadar jenderal pensiunan. Wakil Menteri PAN-RB Purwadi Arianto mendukung transformasi Polri menjadi lebih profesional, sementara Aliansi Perempuan Indonesia menekankan reformasi menyeluruh untuk lindungi perempuan dan minoritas.
Namun, tantangannya besar: apakah komisi ini akan independen, atau sekadar alat PR? Di jalanan, sapu-sapu perempuan pink masih siap “membersihkan”, menunggu janji menjadi kenyataan. Seperti kata seorang demonstran di Bandung, “Reformasi bukan slogan, tapi aksi.” Di tengah ketegangan ini, Indonesia menatap masa depan: apakah Prabowo akan jadi arsitek perubahan, atau hanya penjaga status quo?
Satu tanggapan untuk “Suparman Marzuki Sambut Baik Agenda Reformasi Polri”