Tanya MBG, ID Card Wartawan CNN Indonesia Dicabut Istana

Jakarta, 29 September 2025 – Di tengah hiruk-pikuk Bandara Halim Perdanakusuma yang biasanya penuh dengan sorotan kamera dan bisik-bisik wartawan, Sabtu sore itu (27/9) terasa berbeda. Presiden Prabowo Subianto baru saja mendarat dari perjalanan dinas luar negeri, langkahnya tegap, senyumnya lebar saat menyapa kerumunan jurnalis. Di antara ratusan mikrofon yang mengarah padanya, ada satu suara yang menonjol. Diana Valencia, reporter berpengalaman CNN Indonesia, dengan pertanyaan tajamnya tentang program Makan Bergizi Gratis (MBG). “Pak Presiden, apakah ada instruksi khusus ke Badan Gizi Nasional terkait kasus keracunan MBG yang marak belakangan ini?” tanyanya, suaranya mantap meski dikelilingi tekanan.

Baca juga: Tragedi MBG: Kelalaian atau Sabotase yang Disengaja?

Prabowo berhenti sejenak, matanya menyipit seolah menimbang. “Saya monitor perkembangan itu. Habis ini, saya akan panggil langsung Kepala BGN dan beberapa pejabat,” jawabnya singkat, sebelum melanjutkan langkah. Sorot mata Diana berbinar—ia tahu ini adalah jawaban berharga, terutama di tengah gelombang laporan keracunan massal di sekolah-sekolah yang membuat program unggulan pemerintahan baru ini jadi sorotan nasional.

Tapi, tak disangka, itu justru menjadi akhir dari aksesnya ke Istana. Tak sampai satu jam kemudian, Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden memanggilnya. Alasan? Pertanyaan itu “di luar konteks agenda”. Hasilnya: ID Card wartawan Istana miliknya dicabut, pintu gerbang ke kompleks kepresidenan tertutup rapat untuknya.

Cerita ini bukan sekadar insiden kecil di dunia jurnalistik yang penuh intrik. Ini adalah potret nyata dari garis tipis antara tugas mencari kebenaran dan risiko yang menyertainya. Diana, 32 tahun, bukan pemula. Dengan pengalaman lebih dari delapan tahun di CNN Indonesia, ia telah meliput segala macam isu: dari politik nasional hingga krisis kemanusiaan.

READ  Di Tengah Krisis Publik Kangen pada Sat-Set-nya Mahfud MD

Baca juga: Ahli Gizi Kritik Menu MBG, DPR Minta Evaluasi menyeluruh

Dari Embun Pagi hingga Badai Siang: Jejak Karier yang Tak Terduga

Bayangkan pagi-pagi buta di ruang redaksi CNN Indonesia. Diana bangun sebelum fajar, secangkir kopi hitam di tangan, scroll timeline X untuk menangkap isu panas. Program MBG, yang digadang-gadang sebagai solusi gizi anak bangsa, tiba-tiba jadi momok. Laporan demi laporan: anak SD di Jawa Timur keracunan karena makanan mencurigakan, orang tua panik di Sulawesi karena susu bergizi yang seharusnya memberi nutrisi malah bikin muntah. Ia tahu, sebagai wartawan, tugasnya bukan hanya melapor, tapi juga menuntut akuntabilitas dari pemimpin.

Agenda Prabowo di Halim sebenarnya sederhana: sambutan kepulangan dari KTT ASEAN. Tapi bagi Diana, itu adalah momen emas. Saat presiden melintas di koridor VIP, ia maju, mikrofon di tangan, mata tajam. Pertanyaan itu meluncur seperti panah—langsung, relevan, dan tak bisa diabaikan. Prabowo menjawab, dan untuk sesaat, semuanya terasa sempurna. Tapi di balik pintu Biro Pers, angin berhembus kencang. Pertanyaan itu dianggap di luar konteks. Sebagai jurnalis, Diana memahami satu hal “hak publik untuk tahu.”

Insiden ini mengingatkan pada masa-masa kelam jurnalisme Indonesia pasca-Reformasi. Dulu, wartawan dihantam preman atau ditahan polisi. Kini, “hukuman” datang dari dalam: pencabutan akses, yang berarti hilangnya suara di pusat kekuasaan. Diana bukan yang pertama—beberapa rekan di media lain pernah kena getah serupa karena bertanya hal “sensibel”. Tapi kali ini, isunya MBG, program andalan Prabowo yang menjanjikan 82 juta anak dan ibu hamil dapat makanan gratis, tapi kini terjerat kontroversi keracunan di lebih dari 20 provinsi.

Suara Pers yang Tak Bisa Dibungkam

Dewan Pers langsung angkat bicara. Ketua Komaruddin Hidayat mengecam keras: “Dewan Pers meminta agar akses liputan wartawan CNN Indonesia yang dicabut segera dipulihkan sehingga yang bersangkutan dapat kembali menjalankan tugas jurnalistiknya di Istana.” Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, melalui Ketua Umum Akhmad Munir, menyebut tindakan BPMI “tidak dapat dibenarkan karena menghalangi tugas jurnalistik serta membatasi hak publik untuk memperoleh informasi.” Forum Pemred dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) ikut ramai, menegaskan bahwa pertanyaan Diana “masih dalam koridor etika jurnalistik dan relevan bagi kepentingan publik.”

READ  Komite Reformasi Polri: Pemerintah Ajak Mahfud MD

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, lewat Ketua Irsyan Hasyim, menambahkan: “Tidak ada alasan bagi pejabat publik, termasuk Presiden, untuk menyembunyikan informasi dari publik.” Bahkan, CNN Indonesia sendiri tak tinggal diam. Wakil Pemred Titin Agustina menulis surat resmi ke BPMI, menyebut pertanyaan Diana “kontekstual dan sangat penting karena pelaksanaan program MBG di lapangan menjadi perhatian publik belakangan ini.” “Kami menuntut klarifikasi, karena ini bukan soal satu wartawan, tapi kemerdekaan pers secara keseluruhan,” tegasnya.

Cerita Diana adalah cermin bagi profesi yang rapuh ini. Di era di mana berita bisa viral dalam detik, satu pertanyaan bisa mengubah nasib. Apakah ini akhir dari aksesnya ke Istana? Atau justru awal dari perlawanan lebih besar? Saat matahari terbenam di langit Jakarta yang kelabu, Diana tersenyum tipis. “Besok, saya tetap liput MBG—dari mana pun. Karena kebenaran tak butuh kartu, tapi butuh keberanian.” Dan di balik layar, dunia pers menunggu: apakah pintu Istana akan terbuka lagi, atau justru semakin tertutup?

Satu tanggapan untuk “Tanya MBG, ID Card Wartawan CNN Indonesia Dicabut Istana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *