Sholeh UG
Alhamdulillah, saya mendapat kiriman buku istimewa dari tokoh Al Irsyad yang tak pernah lelah menulis dengan hati: Ady Amar. Penulis yang satu ini dikenal bukan hanya karena kepiawaiannya merangkai kata, tapi juga karena cintanya yang dalam pada Al-Irsyad dan tokoh agung Syekh Ahmad Surkati. Maka lahirlah karya luar biasa ini: Tapak Mualim Syekh Ahmad Surkati (1875–1943), sebuah novel sejarah yang bukan cuma enak dibaca, tapi juga kaya gizi ruhani dan inspirasi perjuangan.
Baca juga: Menulis sebagai jati diri
Novel ini bukan sembarang novel. Ia adalah “biografi” pertama tentang Syekh Surkati yang ditulis dengan hati-hati, seolah pena Ady Amar sedang bersuci sebelum menulis. Terbit setebal 273 halaman dan diluncurkan pada 3 November 2024 di Aula PDS H.B. Jassin, TIM, Jakarta, buku ini berhasil memadukan fakta sejarah dengan sentuhan sastra yang halus dan hangat—mirip teh panas di pagi buta, menyegarkan jiwa.
Tampak sekali dalam novel ini Ady Amar sangat berhati-hati dalam menulis pribadi Surkati, ia memilih bahasa dengan cermat, agar setiap teks bisa bersesuaian dengan konteks sejarahnya. Ady Amar tidak gegabah dalam mengangkat sosok mulia ini. Ia menulis Surkati dengan penuh adab—mengukur bahasa, menakar diksi, agar tetap selaras dengan semangat dan konteks zamannya. Seolah Ady ingin memastikan bahwa setiap halaman adalah cermin kejernihan perjuangan Surkati.

Dan cara Ady yang secara sangat halus “mengindonesiakan” kehidupan Sudan tempat Surkati kecil hidup, sungguh hanya sedikit orang yang mampu melakukannya.
Membaca dengan Hati, Menyusuri Jejak Sang Guru Bangsa
Ketika membaca novel ini, pembaca akan merasa seolah berjalan bersama Surkati. Mulai dari masa kecilnya di Sudan, ketika ia belajar agama dari ayahnya yang juga seorang ulama, hingga perjalanannya menuju Indonesia—negri yang kelak ia cintai dan perjuangkan. Di tengah jalan, kita dipertemukan dengan banyak tokoh sejarah, dari Ahmad Dahlan hingga Soekarno, dari Tjokroaminoto hingga Wondoamiseno.
Salah satu dialog yang sangat menggugah hati muncul di halaman 10, ketika Surkati kecil berkata kepada ayahnya:
“Aku memang ingin memiliki banyak buku seperti Ayah, sebagai senjata untuk melawan orang-orang bodoh dan orang-orang zalim.”
Dari kalimat itu saja, kita sudah bisa memahami perjuangan Surkati. Ia dikenal sebagai pendidik yang memiliki kemampuan membebaskan kebodohan dan kezaliman. Dan keduanya menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk merdeka dari penjajahan, sebagaimana diakui oleh Soekarno. Meski pendidikan di Indonesia ketika itu sudah ada baik yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia atau oleh Belanda demi politik etis, tapi Surkatilah yang mendesain sistem pendidikan yang menjadikan spirit agama sebagai alat memerdekakan diri dari penjajahan, sebagaimana gagasan Syaikh Muhamad Abduh.
Bertemu Ahmad Dahlan di Kereta, dan Fatwa yang Mengguncang Tradisi
Dalam novel ini, ada adegan fiktif yang terasa sangat nyata: pertemuan antara Syekh Surkati dan KH Ahmad Dahlan di atas kereta menuju Solo pada tahun 1912. Dialog mereka terasa hangat, bersahabat, dan sama-sama membawa semangat tajdid (pembaruan Islam). Rasanya seperti membaca dua obor bertemu dan menyalakan cahaya baru untuk umat yang sedang gelap-gelapnya.
Ady Amar juga dengan berani menulis ulang peristiwa-peristiwa penting, seperti fatwa kontroversial Syekh Surkati yang membolehkan sharifah menikah dengan Muslim non-sayyid. Di sini kita melihat wajah Islam yang inklusif, berani, dan berpihak pada keadilan—walau harus menantang tradisi yang kuat.
Sastra, Sejarah, dan Sentilan Halus untuk Kita Semua
Gaya bahasa Ady Amar kadang puitis, tapi tak pernah menjebak dalam melodrama. Narasinya mengalir seperti sungai kecil yang tenang tapi menghanyutkan, sementara deskripsinya tepat sasaran—tidak berlebihan, tapi tetap menggugah. Ada humor, ada lirih, ada semangat yang tak pernah padam.
Satu kutipan yang cukup menyengat muncul di halaman 91:
“Suatu saat nanti ketika pendidikan telah berhasil mencerdaskan kembali umat Islam, semangat pembaruan Islam akan dipeluk erat.”
Kalimat ini seperti tamparan yang memakai sarung tangan sutra. Lembut, tapi mengajak merenung. Apakah pendidikan kita hari ini benar-benar sudah mencerdaskan? Atau justru kita masih sibuk berdebat soal hal remeh sambil meninggalkan semangat perubahan yang dulu diperjuangkan para mualim?
Bacaan Wajib untuk yang Masih Sayang pada Umat
Ditulis hanya dalam waktu tiga bulan, novel ini bukan hanya bukti ketekunan Ady Amar, tapi juga cerminan cinta dan penghormatannya pada sejarah Islam Indonesia yang sering terabaikan. Lewat kisah fiktif tapi sarat makna ini, kita diajak mengenal kembali Surkati—seorang ulama besar yang hidup dan wafat dalam genggaman prinsip.
Bagi Anda yang rindu pada bacaan yang bisa membuat berpikir sekaligus merasa, yang ingin menelusuri jejak intelektual dan spiritual seorang tokoh agung, dan yang masih menyimpan harapan bahwa umat Islam bisa bangkit lewat ilmu dan adab—buku ini wajib Anda baca.
Semoga dari Tapak Mualim ini lahir jejak-jejak baru para pembaharu masa depan. Yang bukan hanya pandai berkata, tapi juga berani melangkah. Yang bukan hanya fasih bicara sunnah, tapi juga jujur menjaga amanah.