
Despan Heryansyah
Peneliti PSAD dan Dosen Fakultas Hukum UII
Penulis adalah satu dari banyak orang yang sejak awal meragukan kapasitas Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto. Kapasitas intelektualnya sebagai ilmuwan, tentu tidak ada yang meragukan, sebagai seorang dosen pada salah satu kampus terkemuka Indonesia, kepakarannya dalam bidang teknologi dan energi tidak perlu diragukan, paripurna.
Baca juga: Sesat Tafsir Penguasaan Negara Atas Tanah
Namun, menjadi Menteri yang mengurusi urusan Perguruan Tinggi, tidak sama dengan meneliti, menulis, dan menerbitkan jurnal terindeks scopus. Menjadi Menteri, selain membutuhkan ketangkasan dalam manajemen Perguruan Tinggi, juga harus tahu betul semangat dan ruh perjuangan Perguruan Tinggi, berikut sejarah pergerakan mahasiswanya. Kapasitas Menteri yang demikian, tentu bukan produk instan yang semalam jadi bak hikayat Bandung Bondowoso, itu adalah hasil perasan pengalaman emosional, intelektual, yang dibentuk dalam jangka waktu yang lama.
Ini adalah titik berangkat keragu-raguan itu, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi nama baru dalam kancah pergerakan nasional. Secara jujur harus diakui, sikapnya tidak pernah muncul menghiasi panggung ruang publik, sehingga sulit membaca arah komitmennya terhadap masa depan Perguruan Tinggi Indonesia. Dengan kata lain, kita sulit menemukan apa yang ditorehkan, diperjuangkan, dan diabadikan oleh sang Menteri demi peradaban Perguruan Tinggi di Indonesia. Maka, pada titik ini keragu-raguan banyak pihak, bukan tanpa alasan.
Menyeimbangkan Dua Bandul
Ada satu konteks yang tampaknya belum cukup dipahami atau mungkin disadari untuk dihindari oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, yaitu peran Perguruan Tinggi di tengah masyarakat Indonesia. Sejak awal, Perguruan Tinggi bukan sekedar menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dan melahirkan lulusan sarjana yang siap ditempatkan di pemerintahan dan Perusahaan Swasta.
Perguruan Tinggi adalah benteng pertama yang membersamai, mengadvokasi, dan membantu masyarakat menyelesaikan berbagai problem sosial kemasyarakatan. Artinya, Perguruan Tinggi tidak berada di ruang hampa, dia di tengah, di samping, di depan, dan di belakang masyarakat Indonesia. Dalam sejarah republik ini, ada banyak cerita yang menunjukkan bagaimana Perguruan Tinggi, melalui dosen maupun mahasiswa mengambil bagian dalam menyelesaian berbagai persoalan bangsa dan Masyarakat.
Dalam perjalanan sebuah bangsa, pilihan kebijakan negara kerap kali bersinggungan dengan kepentingan masyarakat. Dalam level ini, Perguruan Tinggi berdiri di depan, untuk membela masyarakat dalam ketidakberdayaan. Ini adalah fitrah Perguruan Tinggi, yang sejak awal kemunculannya disadari sebagai tanggung jawab sosial Perguruan Tinggi. Artinya, justru pada praktiknya Perguruan Tinggi kerap kali berseberangan dengan pemerintah. Lihatlah dalam semua diskursus Pembangunan yang bermasalah di negeri ini, hampir dapat dipastikan mahasiswa sebagai elemen penting Perguruan Tinggi selalu hadir.
Baca juga: DPR Lembaga Perwakilan Tanpa Periodisasi dan Pengawasan
Tanggung Jawab Sosial
Apa relevansi carita ini dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi? Artinya bahwa Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi sejatinya sejak awal sadar betul bahwa Perguruan Tinggi yang menjadi wilayah kewenangannya memiliki fitrah dan tanggung jawab sosial yang tidak bisa dipisahkan darinya.
Kita tahu betul sebagai bagian dari kekuasaan dan pemerintah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi hadir dalam rangka menjalankan program-program pemerintah. Namun, itu tidak berarti bahwa Perguruan Tinggi harus berada di bawah kendali Kementerian sepenuhnya, artinya otonomi Perguruan Tinggi tidak dapat dimasuki dan harus dihormati oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Dengan demikian, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi sejatinya berada dalam dua bandul yang saling tolak-tarik, menjalankan program dan agenda pemerintah serta menghormati otonomi Perguruan Tinggi. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi harus menjaga keseimbangan antara dua bandul itu.
Dua Kebijakan Buruk
Dengan kesadaran menyeimbangkan dua kepentingan besar itu, maka sejatinya dua kebijakan buruk, yang latah dan ahistori segera dihentikan dan jangan sampai terulang.
Pertama, izin mengelola tambang oleh Perguruan Tinggi. Kebijakan ini, dari semua sisi dan aspeknya tidak dapat dibenarkan serta memunculkan kerusakan masa depan Perguruan Tinggi di Indonesia. Setelah mendapatkan kritik dan penolakan disana-sini, baru pada akhirnya pemerintah mambatalkan rencana kebijakan itu.
Kebijakan ini memang tidak datang dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi langsung, namun secara tidak langsung Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi mengamini dan mendukung rencana kebijakan itu. Artinya tanpa izin Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, tidak mungkin kebijakan itu dapat bergulir.
Kedua, izin TNI masuk kampus. Barangkali inilah kebijakan terburuk Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dalam sejarah. Bagaimana mungkin, Kementerian mengizinkan dua entitas yang “bertolak-belakang” untuk berkolaborasi. Bagi para akademisi yang tahu betul orientasi penguasa belakangan ini, TNI masuk kampus tidak lain kecuali bermakna intimidasi dan terror terhadap Perguruan Tinggi, yang bermuara pada pemakaman atas independensi, kebebasan, dan otonomi Perguruan Tinggi.
Dunia Kampus dan Perguruan Tinggi adalah barometer gerakan masyarakat sipil dalam sebuah negara, yang artinya jika Kampusnya saja digembosi, maka masyarakat sipil lainnya akan merasakan nasib serupa. Dengan demikian, menyadari sejarah, fitrah, dan peran Perguruan Tinggi, maka sudah selayak dan sebenarnya Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi menganulir rencana TNI masuk Perguruan Tinggi.