jogjanetwork.id 5 Agustus 2025
Tim Penasihat Hukum Thomas Trikasih Lembong resmi melaporkan majelis hakim perkara tindak pidana korupsi nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jkt.Pst ke Komisi Yudisial (KY). Laporan dilayangkan pada Senin (4/8) melalui surat permohonan audiensi bernomor 99/VIII/2025.
Baca juga: Abolisi Tom Lembong: Kemenangan Akal Sehat
Tiga hakim yang menyidangkan perkara Tom Lembong, yakni Dennis Arsan Fatrika selaku Ketua Majelis, serta dua hakim anggota: Purwanta S. Abdullah dan Alre Suhendra. Ketiganya diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) selama memimpin persidangan kasus korupsi yang menjerat Thomas Lembong, eks Menteri Perdagangan, terkait periode 2015–2018.
Meski Lembong telah memperoleh abolisi dari Presiden RI melalui Keppres No. 18 Tahun 2025, tim hukumnya menegaskan bahwa langkah ini bukan semata pembelaan individu, melainkan ikhtiar memperbaiki wajah peradilan Indonesia yang makin lusuh oleh noda kekuasaan.

Hakim Tak Netral Hingga Fasilitas Tak Memadai
Dalam dokumen laporan yang diterima redaksi, sejumlah dugaan pelanggaran mencuat. Salah satu pelanggaran yang disorot adalah penggunaan keterangan saksi Rini M. Soemarno yang dikutip dalam putusan di halaman 1266 dan 1341. Padahal, keterangan itu telah dikesampingkan karena dinilai tidak sah menurut Pasal 165 Ayat (1) KUHAP.
Selain itu, ada hakim yang diduga melontarkan komentar bernada sinis seperti “luar biasa” dan “dibagi-bagi kue,” yang dinilai merendahkan Kementerian Perdagangan serta mencerminkan ketidaknetralan dalam persidangan.
Majelis hakim juga disebut lebih aktif menggali keterangan dari saksi yang diajukan jaksa, namun cenderung pasif dan tidak memberi ruang cukup pada saksi atau ahli yang dihadirkan pihak terdakwa. Ketimpangan perlakuan ini dinilai mencederai prinsip imparsialitas.
Baca juga: Tom Lembong Banding: Jaga Marwah Hukum, Lawan Tekanan
Laporan juga menyoroti kondisi ruang persidangan yang dianggap buruk, termasuk fasilitas seperti proyektor yang tidak memadai. Bahkan, penasihat hukum hanya disediakan bangku kayu keras yang dianggap tidak layak, dan mengganggu konsentrasi saat persidangan berlangsung.
Lebih lanjut, salah satu hakim, disebut baru memperoleh sertifikasi hakim Tipikor dua hari sebelum putusan dijatuhkan. Kondisi ini dipertanyakan karena bertentangan dengan prinsip profesionalisme dan keahlian yang seharusnya melekat sejak awal proses persidangan.
Zaid Mushafi: Ini Bukan soal Tom Lembong, Ini soal Marwah Hukum
Zaid Mushafi, kuasa hukum Lembong, menekankan bahwa laporan ini adalah bagian dari upaya struktural untuk memperbaiki sistem peradilan yang saat ini, menurutnya, tengah kehilangan arah.
“Pelaporan ini bukan demi klien kami semata, karena abolisi sudah terbit. Tapi ini untuk membenahi wajah peradilan yang seharusnya menjadi pelindung keadilan, bukan alat kekuasaan,” ujar Zaid.
Ia juga mengonfirmasi bahwa laporan serupa telah dikirimkan ke Mahkamah Agung sebagai bentuk pengawasan internal serta ke Ombudsman RI terkait dugaan maladministrasi dalam pelayanan publik oleh pengadilan.
KY: Akan Segera Verifikasi dan Proses
Juru Bicara KY, Mukti Fajar, membenarkan bahwa pihaknya telah menerima informasi laporan tersebut. KY juga mengakui tingginya perhatian publik terhadap kasus ini.
“Kami akan segera memverifikasi dan menganalisis laporan. Kami juga meminta kuasa hukum Thomas Lembong untuk melengkapi dokumen pelaporan,” ujar Mukti dalam keterangan tertulisnya, Selasa (5/8).
Ia menambahkan, KY akan memanggil baik pelapor maupun majelis hakim guna mendalami dugaan pelanggaran etik. Jika terbukti, KY menyatakan siap merekomendasikan sanksi.
“Komitmen kami jelas: menjaga integritas peradilan. Tidak akan ada toleransi bagi pelanggaran KEPPH,” tegas Mukti.
Dalam suratnya, tim hukum Lembong meminta agar KY memeriksa dugaan pelanggaran etik secara menyeluruh, menyelenggarakan audiensi untuk memaparkan bukti-bukti yang dimiliki, menyatakan bahwa majelis hakim telah melanggar KEPPH, serta menjatuhkan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Antara Abolisi dan Reformasi
Kasus ini menjadi babak baru dalam narasi besar integritas pengadilan Indonesia. Meski Lembong telah memperoleh abolisi, langkah tim hukumnya mengajukan laporan etik terhadap hakim menunjukkan bahwa reformasi peradilan tak bisa berhenti di tengah jalan.
Mereka yang berdiri di podium keadilan—hakim—harus bersih dari bias, profesional, dan tunduk pada hukum, bukan pada tekanan politik.
Kini, bola panas ada di tangan Komisi Yudisial. Mampukah KY menunjukkan taringnya, atau justru tenggelam dalam arus kekuasaan yang makin tak segan membengkokkan hukum demi kepentingan segelintir elite?