jogjanetwork.id31 Juli2025
Dalam suasana yang penuh keprihatinan, suara keadilan kembali digaungkan oleh para pejuang hukum. Ahli hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Suparman Marzuki, menyampaikan pandangannya atas vonis yang dijatuhkan kepada Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. Ia menilai langkah banding yang diambil oleh tim pengacara Tom sebagai tindakan yang benar dan terpuji dalam ikhtiar menegakkan keadilan.
Baca juga: Runtuhnya Kemandirian Hakim: Simbol Krisis Keadilan
“Pertimbangan hakim dalam putusan itu sungguh sulit dipahami—tidak ada dasar norma hukum, asas hukum, maupun logika hukum yang layak. Itu sebabnya, langkah banding adalah pilihan yang tepat dan wajib diambil oleh pengacara,” ujar Suparman, dengan nada yang tegas namun tetap mengedepankan akhlak ilmiah.
Suparman menekankan bahwa dalam sistem hukum yang adil, hakim tingkat banding wajib menimbang dengan jernih seluruh argumentasi yang diajukan dalam memori banding, demi mengoreksi kekeliruan yang terjadi di pengadilan tingkat pertama.
Ikhtiar Mencari Keadilan

Pada 30 Juli 2025, tim pengacara Tom Lembong yang terdiri dari Ari Yusuf Amir, Dody S Abdul Kadir, Zaid Mushafi, dan Sugito, menggelar konferensi pers di Cikini, Jakarta. Dalam suasana yang terbuka dan penuh tanggung jawab, mereka menyatakan bahwa vonis 4 tahun 6 bulan penjara terhadap Tom dalam kasus dugaan korupsi impor gula 2015–2016, tidak berdasar pada fakta hukum yang terungkap selama persidangan.
Baca juga: Mata Hati untuk Keadilan: Harapan Ketua KY 2013-2015 atas Banding Tom Lembong
Ari Yusuf Amir menjelaskan, tidak ada bukti niat jahat (mens rea) maupun keuntungan pribadi yang diperoleh Tom dalam kebijakan impor tersebut. Ia menyayangkan bahwa hakim justru menggunakan istilah “ekonomi kapitalis” sebagai landasan putusan—istilah yang bahkan tidak pernah muncul dari saksi maupun ahli selama persidangan. “Ini sungguh di luar nalar hukum,” ujarnya.
Tiada Bukti, Tiada Keuntungan Pribadi
Zaid Mushafi, anggota tim hukum lainnya, menegaskan bahwa tidak satu pun saksi yang menyatakan Tom mengenal atau bertemu dengan pihak perusahaan terkait. “Tak ada actus reus (perbuatan melawan hukum), apalagi keuntungan pribadi atau korporasi,” kata Zaid. Ia meyakini bahwa upaya banding ini murni berada di ranah pemeriksaan fakta (judex facti), dan semua dasar pertimbangan hakim tingkat pertama keliru.
Fakta Ekonomi yang Dikesampingkan
Dody S Abdul Kadir turut menyoroti kejanggalan dalam perhitungan kerugian negara. Menurutnya, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebagai BUMN yang ditugaskan untuk menjalankan kebijakan tersebut, justru melakukan efisiensi. “Harga gula yang dibeli lebih murah dari HPP, bukan merugikan negara, justru menghemat,” jelasnya.
Tuduhan bahwa Tom menerbitkan izin impor tanpa koordinasi antarkementerian pun dibantah tegas. Semua prosedur dilalui sesuai mekanisme resmi, termasuk laporan kepada Menko Perekonomian saat itu.
Vonis dan Upaya Menjaga Kejujuran
Meski divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan, tim hukum tetap teguh dalam keyakinan bahwa fakta persidangan tidak mendukung vonis tersebut. Mereka berharap, melalui proses banding, keadilan yang sejati akan menemukan jalannya.
Transparansi sebagai Wujud Amanah
Dalam semangat keterbukaan dan akuntabilitas, Tom Lembong dan tim hukumnya membuka akses publik terhadap proses persidangan melalui situs voiceoftomlembong.com dan kanal YouTube “Voice of Tom Lembong.” Ini bukan semata-mata strategi hukum, tapi juga bentuk tanggung jawab moral kepada masyarakat untuk menunjukkan bahwa dalam dunia hukum, kejujuran masih punya tempat.