Di tengah gemuruh era media sosial, kejadian dramatis di Nagari Kapalo Hilalang, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, menjadi sorotan. Pada Jumat, 12 September 2025, sekitar pukul 16.00 WIB, Wakil Bupati Padang Pariaman, Rahmat Hidayat, bersama rombongan yang terdiri dari Inspektur, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pemkab Padang Pariaman, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Rifki Monrizal, serta Direktur Tirta Anai, mengalami pengusiran oleh warga saat hendak menggelar audiensi di kantor nagari setempat. Aksi warga yang menolak kehadiran pejabat ini terekam dan viral di media sosial, menambah daftar panjang ketegangan antara pejabat publik dan masyarakat yang kini semakin vokal menyuarakan ketidakpuasan.
Baca juga: Dari Kata Menjadi Petaka: Ketika Pejabat Tak Jaga Mulut
Video yang diunggah di berbagai platform media sosial memperlihatkan puluhan warga berkumpul, berteriak, dan meminta rombongan wakil bupati segera meninggalkan lokasi. Suasana tegang terasa ketika warga menuding Rahmat Hidayat tidak serius menangani masalah lokal. Penyebab utama kemarahan ini adalah ketidakpuasan warga atas dua isu krusial: perjuangan hak atas Surat Keputusan pembangunan Batalyon Kesehatan yang dikeluarkan oleh Bupati, serta aspirasi ganti rugi tanaman akibat pembangunan jalan lingkar di kawasan Tarok City, yang telah gencar mereka tuntut dalam dua pekan terakhir.
Dalam rekaman video, terdengar warga menyatakan penolakan ini sebagai balasan atas perbuatan pemerintah sebelumnya, dan mereka bersikeras ingin berbicara langsung dengan Bupati, bukan wakilnya. Meski rombongan sempat masuk dan duduk di kantor nagari, Kasat Pol PP Rifki Monrizal mengonfirmasi bahwa mereka akhirnya pergi sesuai permintaan masyarakat, meskipun inisiatif ini dimaksudkan sebagai itikad baik untuk mencari jalan keluar. Kejadian ini bukan sekadar peristiwa lokal, melainkan cerminan dari dinamika baru di mana media sosial menjadi katalis kuat dalam membentuk opini publik dan memicu aksi kolektif.
Gelombang Protes: Dari Pati hingga Penjarahan Rumah DPR
Kejadian di Padang Pariaman bukanlah yang pertama. Di Pati, Jawa Tengah, gelombang demonstrasi besar-besaran meletus beberapa waktu lalu, di mana ribuan warga turun ke jalan menuntut pejabat setempat mundur. Protes ini dipicu oleh kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat, khususnya terkait pengelolaan sumber daya lokal. Massa yang marah tidak hanya menyuarakan aspirasi melalui spanduk dan orasi, tetapi juga melakukan aksi simbolis dengan memblokir akses menuju kantor pemerintahan. Media sosial, sekali lagi, memainkan peran kunci: tagar seperti #PatiMelawan dan #MundurSekarang menjadi trending, memperluas jangkauan protes hingga ke ranah nasional.
Baca juga: Gelombang Protes Gen Z Porak Porandakan Nepal
Lebih jauh, kasus yang lebih ekstrem terjadi ketika rumah beberapa anggota DPR di daerah lain menjadi sasaran penjarahan. Kemarahan warga yang merasa dikhianati oleh wakil rakyat mereka meledak menjadi tindakan anarkis. Meski tidak dapat dibenarkan, aksi ini menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan publik terhadap pejabat. Media sosial mempercepat penyebaran informasi tentang kasus-kasus ini, sekaligus menjadi wadah bagi warga untuk mengorganisir diri dan meluapkan kekecewaan. Mirip dengan insiden di Kapalo Hilalang, di mana Rifki Monrizal menilai penolakan sebagai bentuk ketidakpuasan atas ketidakjelasan tuntutan warga, kasus-kasus ini menekankan pentingnya respons cepat dan transparan dari pejabat.
Media Sosial: Pedang Bermata Dua bagi Pejabat
Di era digital ini, media sosial telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan pejabat publik. Setiap kebijakan, pernyataan, atau bahkan gesture kecil dari seorang pejabat dapat dengan cepat menjadi bahan perbincangan di dunia maya. Satu cuitan atau video pendek dapat memicu badai opini publik, yang dengan mudah bertransformasi menjadi aksi nyata, seperti yang terjadi di Kapalo Hilalang, Pati, hingga kasus penjarahan rumah anggota DPR. Video viral pengusiran Rahmat Hidayat, misalnya, dengan cepat menyebar dan memperkuat narasi ketidakpercayaan warga terhadap pemerintah daerah.
Bagi pejabat, ini adalah peringatan keras: kata-kata dan kebijakan harus dipertimbangkan dengan matang. Media sosial tidak hanya memperbesar suara masyarakat, tetapi juga mempercepat mobilisasi massa. Apa yang dulunya memerlukan waktu berminggu-minggu untuk diorganisir, kini bisa terjadi dalam hitungan jam berkat aplikasi seperti WhatsApp, Twitter, atau Instagram. Namun, pedang ini bermata dua. Jika dimanfaatkan dengan baik, media sosial juga bisa menjadi alat bagi pejabat untuk mendengar aspirasi rakyat dan membangun komunikasi yang lebih transparan.
Kejadian di Padang Pariaman dan kasus-kasus serupa di tempat lain menjadi pengingat bahwa kepercayaan publik adalah aset yang rapuh. Pejabat harus belajar berjalan di atas tali tipis antara kebijakan yang tepat dan komunikasi yang bijak, terutama di tengah sorot tajam media sosial. Sebab, di era ini, satu langkah salah bisa berujung pada pengusiran—atau lebih buruk lagi, kehilangan kepercayaan rakyat secara permanen.